Seperti bagaimanakah hukum mencium kemaluan istri, apa boleh menurut Islam ketika melakukan hubungan suami istri?. Hal ini masih banyak yang mempertanyakan. Sehubungan masalah ini memang bersinggungan dengan area yang sangat Intim, pokok-pokok aurat yang sangat disembunyikan oleh kaum wanita, sehingga seolah-olah tiada yang patut melihat, memegang, selain kita sendiri.
Sebenarnya, telah banyak keterangan dan jawaban ulama terhadap masalah hubungan suami istri yang satu ini. Pada kenyataannya, diakui bahwa sebagian orang merasa jijik dan menganggap buruk bentuk cumbu rayu semacam ini. Sehingga paling utama adalah menjauhi dan menghindarinya.
Tetapi, mereka tidak bisa mengharamkan dengan tegas. Karena tidak ada ketegasan dari nash syar’i yang mengharamkannya. Namun jika hal ini memang terbukti itu berbahaya, maka jenis foreplay yang bisa menyebabkan penyakit dan bahaya diharamkan.
Hal ini berdasarkan firman Allah swt : “Dan Dia mengharamkan atas kalian yang buruk-buruk,” (QS. Al-A’raf: 157).
Menurut salah seorang ulama yang mendapatkan pertanyaan serupa, yaitu Syaikh Khalid Abdul Mun’im al- Rifa’i, bahwa sesungguhnya asal dalam hubungan suami istri adalah mubah, kecuali apa yang disebutkan larangannya oleh syar’i: berupa mendatangi istri pada dubur (anus)-nya, menggaulinya saat haid dan nifas, saat istri menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah. Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan berupa salah satu pasangan menjilati kemaluan pasangannya, dan praktek dalam bersenang- senang maka hal itu tidak apa-apa berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Itu termasuk dari keumuman bersenang- senang yang dimubahkan.
2. Jika koitus dibolehkan yang merupakan puncak bersenggama (bersenang-senang), maka yang dibawah itu jauh lebih boleh.
3. Karena masing-masing pasangan boleh menikmati anggota badan pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali yang telah disebutkan oleh syariat sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
4. Firman Allah swt: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang- orang yang beriman,” (QS. Al-Baqarah: 223).
Hal ini berdasarkan firman Allah swt : “Dan Dia mengharamkan atas kalian yang buruk-buruk,” (QS. Al-A’raf: 157).
Menurut salah seorang ulama yang mendapatkan pertanyaan serupa, yaitu Syaikh Khalid Abdul Mun’im al- Rifa’i, bahwa sesungguhnya asal dalam hubungan suami istri adalah mubah, kecuali apa yang disebutkan larangannya oleh syar’i: berupa mendatangi istri pada dubur (anus)-nya, menggaulinya saat haid dan nifas, saat istri menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah. Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan berupa salah satu pasangan menjilati kemaluan pasangannya, dan praktek dalam bersenang- senang maka hal itu tidak apa-apa berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Itu termasuk dari keumuman bersenang- senang yang dimubahkan.
2. Jika koitus dibolehkan yang merupakan puncak bersenggama (bersenang-senang), maka yang dibawah itu jauh lebih boleh.
3. Karena masing-masing pasangan boleh menikmati anggota badan pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali yang telah disebutkan oleh syariat sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
4. Firman Allah swt: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang- orang yang beriman,” (QS. Al-Baqarah: 223).
Comments